Tata
gerak tubuh dalam Liturgi menjadi simbol liturgis yang penting. Dalam hal
ini ada aneka macam
tata gerak tubuh: berkumpul, berjalan, berarakan, berdiri, duduk, bersila, berlutut dan membungkuk, menunduk, menengadah, tangan terkatup, tangan terangkat dan tangan terentang, penumpangan tangan, pembasuhan tangan, jabatan tangan, mencium
atau mengecup, tanda salib dan berkat, menebah dada, memerciki, mendupai,
meniarap.
Semua tindakan ini memiliki makna liturgis dan melambangkan sesuatu dalam rangka pengungkapan
peristiwa perjumpaan Allah dan manusia dalam liturgi.
1.
Berkumpul
Berkat
pembaptisan kita dijadikan satu keluarga dalam Gereja yang kudus. Orang
Kristiani adalah pribadi yang komuniter, selalu terpaut dalam kebersamaan. Kita
tidak sendirian. Dalam nama Bapa dan Putera, kita juga dipersatukan oleh Roh Kudus.
Itu tampak ketika kita berkumpul, khususnya dalam “tempat kudus.” Kita
berkumpul sebagai orang-orang pilihan, yang terpanggil, yang dicintai Allah.
Liturgi
mengundang kita untuk menemukan kembali panggilan kita, yakni tumbuh dalam kesatuan, menjadi umat
Allah, berkarya dengan dan bagi saudara-saudari dalam perayaan yang dinamis.
Maka, berkumpul adalah bagian dari tata
gerak kolektif. Agar pertemuan itu tidak kacau, tidak anarkis, tetap utuh,
maka diperlukanlah keyakinan dan sikap
yang sama. Di sinilah letak pentingnya suatu pedoman atau aturan bersama.
Kita berkumpul untuk merayakan Ekaristi, suatu perayaan bersama yang bukan
tanpa aturan.
Selain
itu, berkumpul juga menjadi tanda
kehadiran Kristus sendiri, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam
Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20).
2.
Berdiri
Berdiri merupakan simbol gerakan tubuh yang
penting dalam liturgi. Berdiri merupakan tindakan liturgis yang mengungkapkan perhatian, kepedulian, penghormatan, dan
kesiapsediaan terhadap kehadiran Tuhan, baik melalui diri pemimpin ibadat
maupun dalam Sabda dan Doa.
Misalnya, umat berdiri ketika imam dan para
pelayannya masuk ke tempat ibadah; kita berdiri pada saat mendengarkan Injil
dan mendoakan syahadat iman maupun Bapa Kami.
Berdiri juga merupakan sikap dasar liturgis
yang sejak kuno melambangkan situasi dan
keberadaan orang-orang Kristiani sebagai orang-orang yang sudah diselamatkan
oleh Kristus.
3.
Berjalan
Kita tahu, bahwa berjalan merupakan bentuk gerakan manusia yang amat elementer.
Demikian pula dalam liturgi, berjalan juga menjadi simbol liturgis yang
elementer. Namun, berjalan yang dipakai dalam liturgi bukanlah berjalan
asal-asalan (misalnya: seperti orang mabuk atau jalan cepat), melainkan
berjalan dalam arti ritmis/teratur,
dengan badan dan kepala tegak, tenang dan agung simbolis. Berjalan dengan tubuh dan kepala tegak memang pada umumnya merupakan ungkapan simbolis dari manusia yang bermartabat dan berwibawa.
Secara liturgis berjalan sebenarnya mau
mengungkapkan hakikat umat Allah yang
sedang berziarah dan bergerak menuju
tanah surgawi, tanah air sejati. Apabila dalam perayaan liturgi, tindakan
berjalan ini biasa dilakukan bersama-sama dalam suatu prosesi, entah
prosesi atau perarakan masuk, perarakan persembahan ataupun perarakan penutup dalam liturgi Ekaristi, ataupun dalam prosesi liturgi lain.
Dengan prosesi itu, semakin tampaklah dimensi
kebersamaan umat Allah yang sedang berziarah itu.
Berjalan juga bisa dipahami sebagai ungkapan kesiapsediaan kita untuk secara aktif
menyambut dan menanggapi tawaran kasih karunia Allah yang selalu ada di depan
kita.
4. Perarakan
Perarakan imam, asisten imam, misdinar pada hari-hari biasa bergerak dari sakristi
langsung menuju altar. Setelah selesai
perayaan Ekaristi keluar melalui jalan yang sama. Pada hari Raya, perarakan
dari sakristi melewati lorong tengah umat menuju altar.
Urutan perarakan, misdinar paling
depan, disusul oleh asisten imam dan imam (terakhir). Perarakan masuk
biasanya diiringi lagu pembuka, dimana umat menyambut dengan berdiri.
Maksud dari lagu pembukaan adalah untuk
mengarahkan perhatian umat kepada perayaan yang mulai berlangsung, memeriahkan
upacara suci, menciptakan kebersamaan.
Perarakan biasanya juga dilakukan oleh
beberapa wakil umat untuk mengantarkan persembahan berupa: roti, anggur, lilin,
bunga dan kolekte ke altar. Segala hasil karya umat hendak disatukan dengan
kurban Krsitus dalam Ekaristi. Inilah bukti keterlibatan aktif umat dalam
merayakan Ekaristi.
5.
Membungkuk
Membungkuk melambangkan sikap merendahkan
diri dan menyadari kekecilan dan kekerdilan di hadapan Yang Lebih Besar, yakni
Tuhan,
tanda penghormatan (kepada Allah,
altar dan tabernakel), rasa widi asih dan kerendahan hati.
Imam dan para petugas melakukan
penghormatan dengan membungkuk terhadap altar Tuhan.
6.
Mengecup
Mengecup
dilakukan oleh imam sebelum memakai pakaian liturgi, misalnya alba, amik,
stola, kasula dll, maknanya adalah ungkapan
rasa hormat terhadap “barang-barang suci”.
Mengecup juga
dilakukan oleh imam pada meja altar, sebelum dan sesudah perayaan Ekaristi,
maksudnya memberi penghormatan terhadap
meja altar sebagai meja perjamuan Tuhan dan untuk menghormati Allah ditengah-tengah umat-Nya.
Mengecup juga
dilakukan oleh umat, pada peringatan Jumat Agung, dimana semua umat yang
ikut didalam ibadat tersebut mendapat kesempatan mengecup salib, tepatnya mengecup luka pada kaki Yesus. Dimana kita
diajak untuk melakukan penghormatan bagi
Yesus Kristus yang wafat disalib.
7.
Mendupai
Maksud
dari pendupaan ini adalah untuk
menciptakan suasana doa dan kurban bagi Allah. Pendupaan altar
bergerak dari bagian kiri ke kanan
mengelilingi altar. Asap putih yang mengepul keatas sekan melambangkan persembahan kita diterima oleh Allah.
8.
Membuat ‘Tanda
Salib’
Tanda salib dibuat ketika :
· Memasuki
gereja sambil menandai diri dengan air suci yang ada di samping pintu masuk
gereja sebagai tanda peringatan
pembaptisan yang telah kita terima.
· Mengawali
dan mengakhiri Perayaan Ekaristi
· Menerima percikan air suci kalau dibuat
sebagai Tanda Pernyataan Tobat. Tanda
tersebut mengungkapkan kesadaran kita sebagai anak-anak Allah dan kesetiaan
pada janji Baptis.
· Memulai
bacaan injil dengan membuat tanda
salib pada dahi, mulut dan dada untuk mengungkapkan
hasrat agar budi diterangi, mulut disanggupkan untuk mewartakan, dan hati
diresapi oleh sabda Tuhan.
·
Menerima berkat
perutusan pada bagian Ritus Penutup
9.
Memerciki
· Sebagai tanda penyucian dan peringatan akan pembaptisan kita.
·
Memerciki dilakukan pada permulaan Ekaristi
(kadang-kadang masih ada imam yang melakukannya).
·
Dan juga dilakukan setelah pembaharuan janji
baptis pada Malam Paskah, saat menerima daun Palma pada perarakan Minggu Palma.
·
Memerciki juga dilakukan untuk kepentingan
pernikahan, pemakaman, pemberkatan tempat/gedung, pemberkatan benda-benda devosi
lainnya.
10. Menundukkan
Kepala
Sikap hormat
ini sebagai tanda penghormatan.
Menundukan kepala dilakukan oleh: Imam ketika mengucapkan kata Yesus, Santa
Perawan Maria dan santo santa yang diperingati pada hari itu. Menundukan kepala
dilakukan:
·
Oleh Imam sebelum dan sesudah mendupai salib,
altar dan bahan persembahan.
·
Oleh misdinar sebelum dan sesudah mendupai imam
dan umat.
·
Oleh lektor atau petugas lainnya yang akan
menuju altar untuk menghormati altar Tuhan dan Imam.
11. Menegadahkan
Kepala
Sebagai
sikap doa yang mengungkapkan permohonan
dengan kebulatan hati.
Menegadahkan
kepala dilakukan oleh imam ketika mempersembahkan roti dan anggur serta
dilakukan oleh umat ketika berdoa pribadi di hadapan Yesus atau Bunda Maria
dengan kebulatan hati untuk memohon.
12. Berlutut
Berlutut
merupakan sikap doa yang mengungkapkan
kerendahan hati seseorang yang ingin memohon kepada Tuhan atau bersembah
sujud kepada-Nya. Berlutut dilakukan:
·
Oleh Umat ketika berdoa pribadi pada saat
mengawali dan mengakhiri Ekaristi, saat konsekrasi, serta sebelum dan sesudah
komuni sebagai sikap sembah sujud untuk hormat kepada Allah.
·
Oleh Umat ketika mengucapkan Doa Tobat untuk
menunjukan sikap kerendahan hati dan permohonan ampun.
·
Oleh Imam ketika mendoakan kisah Institusi
(Kisah Perjamuan Tuhan) dalam Doa Syukur Agung, termasuk didalamnya kata-kata
konsekrasi, sebagai tanda hormat dan pujian oleh umat di hadapan Sakramen
Mahakudus atau Tarbernakel
·
Oleh Imam dan Umat untuk merenungkan wafat Tuhan
Yesus pada saat pembacaan Kisah Sengsara pada hari raya Jumat Agung.